OLEH :
JOE. ELHANIF
KATA PENGANTAR
Bismillahhirrahmanirrahim,
sebelumnya saya mengucapkan puji syukur atas kehadirat Allah Yang Maha Esa,
karena atas rahmat dan karuniaNya sehingga penyusunan tugas ini dapat saya
selesaikan.
Tugas mata kuliah HUKUM PERKAWINAN yang berjudul sama, Hukum
Perkawinan ini disusun untuk memenuhi nilai tugas individu pada
Semester-5 fakultas Hukum Universitas Darussalam Ambon.
Saya menyadari bahwa tugas ini
masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangannya. Oleh karena itu saya sangat
mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak sebagai
masukan di waktu yang akan datang.
Selesainya tugas ini tidaklah
terlepas dari adanya bimbingan, bantuan dan petunjuk serta saran dari berbagai
pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini saya menyampaikan rasa terima kasih
yang sebesar-besarnya.
Demikian hal ini disampaikan, atas
perhatiannya saya ucapakan terima kasih.
Wassalam.
Daftar
Isi
Kata pengantar
Daftar isi
BAB
I.
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan dan Manfaat
Bab
II.
2.1
Permasalahan
Bab
III.
Pembahasan
3.1
Pengertian Hukum Perkawinan
3.2
Pentingnya Hukum Perkawinan
3.3
Penerapan Hukum Perkawinan Di Indonesia
Penutup
Kesimpulan
Saran
BAB I
Pendahuluan
1.1.
Latar Belakang
Sejak dilahirkan ke
dunia manusia sudah mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama dengan manusia
Iainnya dalam suatu pergaulan hidup. Di dalam bentuknya yang terkecil, hidup bersama
itu dimulai dengan adanya sebuah keluarga. Dimana dalam keluarga gejala
kehidupan umat manusia akan terbentuk paling tidak oleh seorang Iaki-Iaki dan
seorang perempuan. Hidup bersama antara seorang Iaki-Iaki dan seorang perempuan
yang telah memenuhi persyaratan inilah yang disebut dengan perkawinan. Perkawinan
merupakan suatu ikatan yang malahirkan keluarga sabagai salah satu unsur dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sedemikian Iuhurnya anggapan tentang
suatu perkawinan menyebabkan terlibatnya seluruh kerabat dan bahkan seluruh
anggota masyarakat itu yang memberi petuah dan nasahat serta pengharapan agar
dapat dilihat dalam kanyataan bahwa dalam kehidupan masyarakat kita, bahwa
tidak ada suatu upacara yang paling diagungkan selain upacara perkawinan.
Perkawinan memerlukan
pertimbangan yang matang agar dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama di
dalam menjalin hubungan antara suami istri diperlukan sikap toleransi dan
menempatkan diri pada peran yang semestinya. Sikap saling percaya dan saling
menghargai satu sama Iain merupakan syarat mutlak untuk bertahannya sebuah
perkawinan. Suami istri harus mau menjalankan hak dan kewajibannya secara seimbang
agar tidak muncul masalah dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu perbuatan
hukum, sehingga konsekuansi bagi setiap parbuatan hukum yang sah adalah
menimbulkan akibat hukum, barupa hak dan kawajiban bagi kadua belah pihak suami
istri atau juga pihak Iain dengan siapa salah satu pihak atau kedua-duanya atau
suami istri mangadakan hubungan. Dengan demikian perkawinan itu merupakan salah
satu perbuatan hukum dalam masyarakat, yaitu peristiwa kamasyarakatan yang 0Iah
hukum diberikan akibat-akibat. Adanya akibat hukum ini panting sekali
hubungannya dengan sahnya parbuatan hukum itu, sehingga suatu perkawinan yang
menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya anak yang Iahir di Iuar pernikahan,
maka anak yang dilahirkan itu akan merupakan anak yang tidak sah.
1.2.
TUJUAN DAN MANFAAT
Tujuan dari penyusunan
makalah ini antara Iain :
l. Untuk memenuhi tugas
mata kuliah hukum perkawinan
2. Untuk menambah
pengetahuan tentang apa itu hukum dan perkawinan
3. Untuk mengetahui
pentingnya hukum dalam perkawinan
4. Untuk mengetahui bagaimana
hukum perkawinan di indonesia
Manfaat
yang didapat dari makalah ini adalah :
1. Mahasiswa dapat
menambah pengetahuan tentang Hukum Perkawinan
2. Mahasiswa dapat
mengetahui pentingnya hukum dalam perkawinan
3. Mahasiswa dapat
mengetahui bagaimana hukum perkawinan di indonesia
BAB II
2.1.
Permasalahan
Dengan memperhatikan latar
belakang tersebut, agar dalam makalah ini bias diperoleh hasil yang diinginkan
maka Kami mengemukakan beberapa parmasalahan sebagai berikut :
1. Apakah Hukum
Perkawinan itu
2. Mengapa Hukum Penting
Dalam Perkawinan
3. Bagaimana Hukum
Perkawinan Di Indonesia
BAB
III
Pembahasan
3.1.
Pengertian Hukum Perkawinan
Kata "hukum"
mangandung makna yang Iuas maliputi semua paraturan atau katantuan tartulis
maupun tidak tartulis yang mangatur kahidupan masyarakat dan manyadiakan sanksi
tarhadap pelanggarnya. Para ahli sarjana hukum membarikan pangartian hukum
dangan malihat dari barbagai sudut yang berlainan dan titik baratnya.
Barbada-beda antara ahli yang satu dangan yang Iain, karana itu tidak ada kasatuan
atau kasaragaman tantang datinisi hukum, antara Iain di bawah ini:
A. Menurut Van Kan
Hukum merupakan kasaluruhan paraturan hidup yang bersifat memaksa untuk
malindungi kapantingan manusia di dalam masyarakat.
B. Menurut Utrecht Hukum
merupakan himpunan paraturan (baik barupa parintah maupun Iarangan) yang
mangatur tata tartib dalam suatu masyarakat dan seharusnya ditaati olah anggota
masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu palanggaran patunjuk hidup
tarsebut dapat manimbulkan tindakan dari pihak pemarintah.
C. menurut Wiryono
Kusumo Hukum adalah merupakan kasaluruhan paraturan baik yang tartulis maupun
tidak tartulis yang mangatur tata tartib di dalam masyarakat dan tarhadap
palanggarnya umumnya dikenakan sanksi. Dari pandapat para ahli hukum balum
tardapat satu kasatuan manganai pengartian hukum, namun dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa hukum mamiliki babarapa unsur yaitu:
a. Adanya
paraturan/katantuan yang memaksa
b. Berbentuk tartulis
maupun tidak tartulis
c. mengatur kehidupan
masyarakat
d. Mempunyai sanksi.
Karena itu pangertian
hukum adalah paraturan-paraturan yang dibuat 0Iah badan yang barwanang yang
barisi parintah ataupun Iarangan untuk mangatur tingkah Iaku manusia guna
mancapai keadilan, kaseimbangan dan keselarasan dalam hidup. Dangan kata Iain
untuk mancagah tarjadinya kakacauan dan Iain sabagainya dalam hidup.
Perkawinan merupakan
suatu ikatan yang melahirkan keluarga sabagai salah satu unsur dalam kahidupan
barmasyarakat dan barnagara, yang diatur olah aturan hukum dalam hukum tertulis
(hukum negara) maupun hukum tidak tertulis (hukum adat).
Hukum negara yang
mengatur mengenai masalah perkawinan adalah Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemarintah Nomor 9 Tahun 1975 tantang Palaksanaan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di Iain pihak hukum adat
yang mangatur mangenai perkawinan dari dulu hingga sekarang tidak berubah,
yaitu hukum adat yang telah ada sejak jaman nenek moyang hingga sekarang ini
yang merupakan hukum yang tidak tertulis.
Menurut Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan dan tujuannya adalah sabagai berikut :
"Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Lalu, menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 2 disebutkan, bahwa
perkawinan adalah pernikahan
yaitu akad yang sangat kuat atau untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
merupakan ibadah.[1]
Selain rurnusan pada dua peraturan tersebut, beberapa pakar hukum juga memberikan pengertian tentang perkawinan. Prof. Subekti S.H mengatakan perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[2] Dengan damikian hukum perkawinan adalah peraturan-paraturan yang dibuat yang dibuat olah badan yang barwanang yang berisi parintah ataupun Iarangan untuk mengatur perkawinan guna mancapai keadilan, kaseimbangan dan keselarasan dalam perkawinan.
Selain rurnusan pada dua peraturan tersebut, beberapa pakar hukum juga memberikan pengertian tentang perkawinan. Prof. Subekti S.H mengatakan perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama.[2] Dengan damikian hukum perkawinan adalah peraturan-paraturan yang dibuat yang dibuat olah badan yang barwanang yang berisi parintah ataupun Iarangan untuk mengatur perkawinan guna mancapai keadilan, kaseimbangan dan keselarasan dalam perkawinan.
Perkawinan adalah suatu
proses untuk mangikat dua sejoli dalam satu ikatan yang suci, sabagai gerbang
mambina sebuah rumah tangga. Karena itu ada baberapa persyaratan harus dipenuhi
agar perkawinan tersebut sah secara agama dan sah secara hukum. Pernikahan sah
sacara agama apabila perkawinan tersebut sesuai dengan ajaran agama yang
dianut. Sedangkan pernikahan tersebut dikatakan sah secara hukum apabila sesuai
dangan hukum pernikahan yang berlaku.
Perkawinan dianggap sah
sacara hukum apabila sesuai dangan Undang-Undang Perkawinan yang telah ada. Dalam
perkembangan masyarakat fungsi hukum perkawinan adalah :
a. Sebagai alat
pengatur tata tartib hubungan masyarakat Hukum memberi petunjuk dalam hal
perkawinan, sehingga segala sesuatunya berjalan tertib dan teratur. Begitu pula
hukum dapat memaksa agar hukum itu ditaati anggota masyarakat.
b. Sebagai sarana untuk
mewujudkan kaadilan sosial Iahir dan batin. Hukum mempunyai ciri memerintah dan
melarang, bersifat memaksa dan daya mengikat, maka hukum dapat mambarl kaadilan
untuk manantukan slapa yang bersalah dan siapa yang benar.
c. Sebagai sarana
penggerak pembangunan. Hukum dijadikan alat untuk membawa masyarakat ke arah
yang Iebih maju dalam perkawinan. Perkawinan selanjutnya disebut pemikahan, merupakan
sebuah Iembaga yang memberikan Iegimltasi seorang prla dan wanita untuk bisa
hldup dan berkumpul bersama dalam sebuah keluarga. Ketenangan atau ketentraman sebuah
keluarga ditentukan salah satunya adalah bahwa pernikahan itu harus sesuai
dengan dengan tuntutan syariat Islam ( bagi orang Islam ). Selain itu untuk
mewujudkan fungsi hukum perkawinan, pernikahan itu harus tercatat di Kantor
Urusan Agama / Catatan Sipil.
Pencacatan perkawinan
pada prinsipnya merupakan hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan
terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga separti hak warls
dan Iain-Iain. Dalam hal nikah siri atau perkawinan yang tidak dicatatkan dalam
administrasi negara mengakibatkan persmpuan tidak memlliki kekuatan hukum dalam
hak status pengasuhan anak, hak waris, dan hak-hak Iainnya ssbagai istri yang
pas, akhirnya sangat merugikan pihak perempuan. Pada kesempatan ini saya
sampaikan beberapa dasar hukum menganai pencatatan perkawlnan / pernikahan,
antara Iain:
1. Undang-Undang
Tentang No 22 Tahun 1946
Mengatakan : Nikah yang
dilakukan menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah, diawasi oleh Pegawai
Pencatat Nikah yang diangkat oleh menteri Agama atau pegawai yang ditunjuk
olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut agama Islam salanjutnya disebut
talak dan rujuk, dlbaritahukan kepada Pegawai Pencatat Nikah. Pasal ini
memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah,ta|ak, dan rujuk menurut agama
Islam supaya dlcatat agar mandapat kepastian hukum. Dalam Negara yang teratur
segala hak-hak yang bersangkut pada dengan kepandudukan harus dicatat, sabagai
kelahiran, pernikahan, kematian, dan sebagainya Iagi pada perkawinan perlu di
catat ini untuk menjaga jangan sampai ada kekecauan.
2. Undang-undang No 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat 2
menyatakan: "Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan parundang-undangan yang
barlaku."
3. PP NOMOR 9 TAHUN
1975 TENTANG PELAKSANAAN UU NOMOR 1 TAHUN
1974 TENTANG
PERKAWINAN. Bab II Pasal 2 Ayat 1: "Pencatatan Perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 32 tahun 1954 tentang Pencatat
Nikah,Talak, dan Rujuk."
Ayat 2:
"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya
menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sabagaimana dimaksud
dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan."
Ayat 3: "Dangan
tidak mengurangi katentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara
pencatatan perkawinan berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, tata cara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 samapai
Pasal 9 Peraturan Pemerintah."
Pasal 6; Ayat 1:
"Pagawai Pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak malangsungkan
perkawinan, meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipanuhi dan apakah
tidak terdapat halangan perkawinan menurut Undang-undang."
Ayat 1: "Selaln
penelitian terhadap hal sebagai dimaksud dalam ayat (1), Pagawai Pencatat
meneliti pula:
1.Kutipan Akta Kalahiran
atau surat kanal Iahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau
surat kenal Iahir dapat dipergunakan suratketerangan yang manyatakan umur dan
asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang sctingkat
dengan itu;
2. Keterangan mengenai
nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, dan tempat tinggal orang tua calon mempelai;
3. Izin tertulis/izin
Pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2), (3), (4), dan (5)
Undang-undang, apabila salah saorang calon mempelai atau keduanya belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun;
4. Izin Pengadilan sebagai
dimaksud pasal 14 Undang-undang; dalam hal calon mempelai adalah seorang suami
yang masih mempunyai isteri;
5. Dispensasi
Pengadilan / Pejabat sebagai dimaksud PasaI7 ayat (2) Undang-undang;
6. Izin kematian isteri
atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau Iebih;
7. Izin tertulis dari
Pejabat yang ditunjuk oleh Manteri HANKAM / PANGAB, apabila salah satu calon
mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata;
8. Surat kuasa otentik
atau dibawah tangan yang disahkan Pagawai Pencatat, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang penting,
sehingga mewakilkan kepada orang Iain.
Mengapa Perkawinan
Harus Dicatat? Nikah yang sah menurut undang-undang adalah nikah yang telah
mamenuhi syarat-syarat yang ditentukan dan dicatat oleh Pegawai Pancatat Nikah
(PPN). Pencatatan ini dilakukan jika ketentuan dan paraturan sebagaimana
Peraturan Menteri Agama Nomor 11 Tahun 2007 telah dipenuhi. Ada bebarapa
manfaat pencatatan pernikahan :
1. Mendapat perlindungan
hukum. Misalnya tarjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), Jika sang istri
yang pernikahannya secara siri atau tidak dicatatkan mangadu kepada pihak yang berwajib,
pengaduannya sabagai istri yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan.
Alasannya, karena sang istri tidak mampu manunjukkan bukti - bukti otantik akta
pernikahan yang resmi.
2. Memudahkan urusan
perbuatan hukum Iain yang terkait dengan pernikahan. Akta nikah akan membantu
suami isteri untuk malakukan kebutuhan Iain yang berkaitan dengan hukum, damikian
juga dengan akta kelahiran, aklbat hukum dari anak-anak yang dllahirkan dl Iuar
perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dlanggap anak tidak sah,
juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga lbu (Pasal 42
dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Selain itu hubungan perdata dengan ayahnya
tidak ada.
3. Legalitas formal pernikahan
di hadapan hukum. Pernikahan yang dianggap legal sacara hukum adalah pernikahan
yang dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang dltunjuk olahnya. Karenanya,
walaupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa dicatatkan oleh PPN, pada
dasarnya illegal menurut hukum.
4. Terjamin hak-haknya.
Isteri dan anak berhak memperoleh nafkah dan warisan dari suami / ayahnya.
5. Terjamin
keamanannya. Sabuah pernikahan yang dicatatkan sacara resmi akan terjamin
keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan Iainnya.
Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama mareka yang terdapat
dalam Akta Nikah untuk keperluan yang menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu
dapatdibandingkan dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA
tempat yang bersangkutan menikah dahulu.
3.3.
Penerapan Hukum Perkawinan Di Indonesia
Di Indonesia ketentuan
yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang
dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materiil dari perkawinan,
sedangkan hukum formalnya ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989,
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.
Kompilasi Hukum Islam
tentang Hukum Perkawinan
Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991. Hukum perkawinan terdapat di dalam Buku I kompilasi Hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam terdapat dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor I Tahun 1991. Hukum perkawinan terdapat di dalam Buku I kompilasi Hukum Islam.
a. Perkawinan menurut
kompilasi hukum Islam
Perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangar kuat atau misaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah seperti yang terdapat dalam pasal 3 Kompilasi Hukum islam.
Perkawinan yang sah menurut pasal 4. yaitu perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No, 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
b. kewajiban Pencatatan Perkawinan
undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan sebagai berikut.
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat
2) pencatatan perkawinan tersebut, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954
3) Untuk memenuhi ketentuan tersebut, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah
Perkawinan menurut hukum islam adalah akad yang sangar kuat atau misaqan ghalizan untuk menaati perintah Allah Swt. dan melaksanakannya merupakan ibadah. Perkawinan bertujuan mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah seperti yang terdapat dalam pasal 3 Kompilasi Hukum islam.
Perkawinan yang sah menurut pasal 4. yaitu perkawinan yang dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No, 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
b. kewajiban Pencatatan Perkawinan
undang-undang No. 1 Tahun 1974, Pasal 2 ayat 2 menegaskan bahwa setiap perkawinan dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku. Dalam kompilasi hukum islam dijelaskan sebagai berikut.
1) Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap perkawinan harus dicatat
2) pencatatan perkawinan tersebut, dilakukan oleh pegawai pencatat nikah sebagaimana diatur dalam Undang- Undang No. 22 Tahun 1946 jo Undang-Undang No. 32 Tahun 1954
3) Untuk memenuhi ketentuan tersebut, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah
4)
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai pencatat perkawinan tidak
mempunyai kekuatan hukum
5) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.[3]
5) perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah.[3]
Yang dimaksud dengan
Undang-Undang Perkawinan adalah segala sesuatu dalam bentuk aturan yang dapat
dan dijadikan petunjuk dalam hal perkawinan dan dijadikan pedoman hakim di
Iembaga Peradilan Agama dalam memeriksa dan memutuskan perkara perkawinan, baik
secara resmi dinyatakan sebagai peraturan perundang-undangan negara atau tidak.
Adapun yang sudah
menjadi peraturan perundang-undangan negara yang mengatur perkawinan yang
ditetapkan setelah Indonesia merdeka adalah :
1. Undang-Undang Nomor
32 Tahun 1954 tentang penetapan berlakunya Undang-Undang Republik Indonesia
Tanggal 21 November 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak,
dan Rujuk di seluruh daerah Iuar Jawa dan Madura.
2. Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang merupakan hukum materiil dari perkawinan.
3. Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
4. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama Diantara
beberapa hukum perundang-undangan tersebut di atas pembahasan diarahkan kepada
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, karena hukum materiil perkawinan
keseluruhannya terdapat dalam undang-undang ini.
Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1975 hanya sekedar menjelaskan aturan pelaksanaan dari beberapa
materi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, sedangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 mengatur hukum acara ( formil ) dari
perkawinan.
Dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1975 terdapat 14 Bab yaitu :
1. Bab I tentang Dasar
Perkawinan terdiri dari pasal 1 s/d 5.
2. Bab II tentang
Syarat - syarat perkawinan terdiri dari pasal 6 s/d 12
3. Bab III tentang
Pencegahan Perkawinan terdiri dari pasal 13 s/d 21
4. Bab IV tentang
Batalnya perkawinan terdiri dari pasal 22 s/d 28
5. Bab V tentang
Perjanjian perkawinan terdiri dari pasal 29
6. Bab VI tentang Hak
dan kewajiban suami isteri terdiri dari pasal 30 s/d 34
7. Bab VII tentang
Harta benda dalam perkawinan terdiri dari pasal 35 s/d 37
8. Bab VIII tentang
Putusnya perkawinan serta akibatnya terdiri dari pasal 38 s/d 41
9. Bab IX tentang
Kedudukan anak terdiri dari pasal 42 s/d 44
10. Bab X tentang Hak
dan kewajiban antara orang tua dan anak terdiri dari pasal 45 s/d 49
11. Bab XI tentang Perwalian
terdiri dari pasal 50 s/d 54
12. Bab XII tentang
Ketentuan - Ketentuan Iain terdiri dari pasal 55 s/d 63
13. Bab XIII tentang
Keztentuan peralihan tcrdiri dari pasal 64 s/d 65
14. Bab XIV tentang
Ketentuan penutup terdiri dari pasal 66 s/d 67
Penutup
Kesimpulan
Perkawinan adalah suatu
perbuatan hukum, sehingga konsekuensi bagi setiap perbuatan hukum yang sah
adalah menimbulkan akibat hukum, berupa hak dan kewajiban bagi kedua belah
pihak suami istri atau juga pihak Iain dengan siapa salah satu pihak atau kedua
- duanya atau suami istri mengadakan hubungan. Dengan demikian perkawinan itu
merupakan salah satu perbuatan hukum dalam masyarakat, yaitu peristiwa
kemasyarakatan yang oleh hukum diberikan akibat-akibat.
Adanya akibat hukum ini
penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum itu, sehingga suatu
perkawinan yang menurut hukum dianggap tidak sah umpamanya anak yang Iahir diluar
perkawinan, maka anak yang dilahirkan itu akan merupakan anak yang tidak sah.
Pencatatan perkawinan
memegang peranan yang sangat penting dalam suatu perkawinan karena pencatatan
termasuk suatu syarat diakui atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara, dalam
hal ini banyak membawa konsekuensi bagi yang bersangkutan. Bilamana suatu
perkawinan tidak dicatat sekalipun perkawinan itu sah menurut ajaran agama atau
kepercayaan, perkawinan tersebut tidak diakui oleh negara, begitu pula segala
akibat yang timbul dari perkawinan.
Di Indonesia ketentuan
yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia.
Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk undang-undang yaitu
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan peraturan pelaksanaannya dalam bentuk Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
Saran
Hukum dalam perkawinan
sangatlah panting peranannya dalam kehidupan manusia dalam bermasyarakat guna
mewujudkan perkawinan yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Demi mewujudkan tujuan tersebut maka sangat penting agar perkawinan
dicatat sesuai dengan ketentuan undang-undang yang berlaku.
Hukum Perkawinan sesuai
dalam undang undang Nomor 1 Tahun 1974 sebaiknya dijalankan dan ditaati dengan
baik oleh masyarakat yang berkepentingan agar segala sesuatunya dalam
perkawinan berjalan tertib dan teratur.
[1] Libertus Jehani.
Perkawinan, Apa Resiko Hukumnya?,
(Cet. 1; Jakarta barat: Forum Sahabat, 2008), h. 1
[2] Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, (Cet. XI:
Jakarta Intermasa, 1987), h. 23
[3] Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam untuk SMK Kelas XII, (Cet.
1; bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), h. 58
Tidak ada komentar:
Posting Komentar