Allah menjadikan agama ini menjadi perpaduan
antara dua kepentingan yakni kepentingan fithrah kita manusia yang
memiliki kemestian/kecenderungan untuk bertuhan dan berhubungan dengan
tuhan yang diistilahkan oleh agama dengan hablumminallah.
Kemudian kepentingan kedua yang juga merupakan fithrah kemanusiaan yakni
hubungan sosial kemasyarakatan atau yang diistilahkan dengan hablumminannas. Dalam konteks hablumminannas,
tidak ada satu agama manapun yang mengkaitkan secara langsung antara
keimanan dan ketaqwaan dan ibadah kepada Allah dengan kepentingan dan
kemestian hidup bersosial masyarakat selain agama Islam. Sebagai
contoh di dalam Islam kita diperintahkan untuk shalat wajib 5 waktu.
Akan tetapi shalat itu akan menjadi perbuatan hina dan tercela jika
shalat itu tidak dibarengi dengan semangat bersosial bermasyarakat.
Kita dapati firman Allah ta`ala yang menegaskan cercaan Allah terhadap orang yang shalat dengan model yang seperti ini di dalam surat Al Ma`un (4-7): “maka celakalah orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang shalatnya lalai, dan mereka yang shalatnya itu riya` dan mencegah orang menolong sesamanya”. Di dalam ayat ini Allah menegaskan adanya shalat yang tercela yakni shalat yang tidak dibarenagi dengan kewajiban sosial kemasyarakatan yakni menolong sesama manusia. Jadi ibadah yang paling tinggi di dalam Islam ini yakni shalat, ternyata terkait langsung dengan kewajiban sosial bermasyarakat, sehingga bila kewajiban tersebut tidak dijalankan maka shalatnya menjadi shalat yang celaka dan tercela. Kemudian kita dapati juga di dalam Sabda Rasulullah Shalallahu `alayhi wasallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya“. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47) (74)]. Bahkan di dalam hadits lain ditegaskan:“Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (H.R.Muslim). Di dalam hadits ini Allah mengkaitkan secara langsung antara keimanan dengan kemestian menjaga keamanan atau memberikan rasa aman kepada lingkungan, bahkan Allah ta`ala mengancam orang yang mengganggu ketentraman tetangganya dengan tidak akan dimasukkan ke surga Allah. Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran Islam yang senada yang itu semua menunjukkan bahwa islam itu memang agama yang rahmatan lil alamain, karena Islam demikian kuatnya menekankan tentang kemestian bersosial seorang muslim terhadap lingkungannya, karib kerabatnya, keluarganya dan terhadap bangsa dan negaranya.
Kita dapati firman Allah ta`ala yang menegaskan cercaan Allah terhadap orang yang shalat dengan model yang seperti ini di dalam surat Al Ma`un (4-7): “maka celakalah orang-orang yang shalat, yakni orang-orang yang shalatnya lalai, dan mereka yang shalatnya itu riya` dan mencegah orang menolong sesamanya”. Di dalam ayat ini Allah menegaskan adanya shalat yang tercela yakni shalat yang tidak dibarenagi dengan kewajiban sosial kemasyarakatan yakni menolong sesama manusia. Jadi ibadah yang paling tinggi di dalam Islam ini yakni shalat, ternyata terkait langsung dengan kewajiban sosial bermasyarakat, sehingga bila kewajiban tersebut tidak dijalankan maka shalatnya menjadi shalat yang celaka dan tercela. Kemudian kita dapati juga di dalam Sabda Rasulullah Shalallahu `alayhi wasallam: “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya“. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari (6475) dan Muslim (47) (74)]. Bahkan di dalam hadits lain ditegaskan:“Tidak akan masuk surga, seseorang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya” (H.R.Muslim). Di dalam hadits ini Allah mengkaitkan secara langsung antara keimanan dengan kemestian menjaga keamanan atau memberikan rasa aman kepada lingkungan, bahkan Allah ta`ala mengancam orang yang mengganggu ketentraman tetangganya dengan tidak akan dimasukkan ke surga Allah. Dan masih banyak lagi ajaran-ajaran Islam yang senada yang itu semua menunjukkan bahwa islam itu memang agama yang rahmatan lil alamain, karena Islam demikian kuatnya menekankan tentang kemestian bersosial seorang muslim terhadap lingkungannya, karib kerabatnya, keluarganya dan terhadap bangsa dan negaranya.
Dalam hal ini, memang ada upaya dari musuh-musuh Allah dan RasulNya Shalallahu `Alayhi Wasallam
baik dari kalangan jin maupun manusia agar umat manusia tidak tertarik
apalagi beriman kepada Islam yang indah ini. Mereka musuh-musuh Islam
mencanangkan berbagai upaya antara lain melakukan makar dan
jebakan-jebakan dalam rangka mengecoh dan mengelabui orang agar tidak
tertarik dan masuk ke agama Islam. Jebakan-jebakan tersebut antara lain
yang diistilahkan dengan asy syahawaat dan asy syubuhaat. Asy syahawaat
yakni mengkampanyekan (menggiring) ummat kepada yang haram dan
diekspresikan perkara yang haram itu sebagai sesuatu yang sangat indah
dan bagus sementara yang diperintahkan oleh Allah itu sebagai sesuatu
yang sangat jelek dan menyeramkan. Kemudian dengan syahwat ini orang
dirayu dan dijebak kepada kegandrungan kepada pelanggaran syari`at
Allah. Sebagai contoh seorang suami digiring seakan-akan memandang
istrinya yang notabene setia menanti dirumah, halal, bersih dan mulya
itu dikesankan sebagai sosok yang membosankan, sementara pelacur di
jalanan yang kotor, rendah dan penuh dengan makar dan khianat itu
dikesankan sebagai sesuatu yang menarik, indah dan menyenangkan.
Sehingga orang yang terjebak ke dalam jebakan syahwat ini cenderung
kepada sesuatu yang bernilai rendah di hadapan syari`ah daripada sesuatu
yang jelas-jelas bernilai tinggi dan mulya di sisi Allat ta`ala. Yang
ke dua adalah jebakan yang lebih dahsyat dari pada Asysyahawaat yakni jebakan Asysyubuhaat,
yakni berbagai pengkaburan antara yang halal dengan yang haram. Yang
halal dikesankan seakan-akan haram, dan yang haram dikesankan
seakan-akan halal. Yang diajarkan oleh Nabi dikesankan seakan-akan
menyimpang, sementara yang menyimpang dari ajaran nabi dikesankan
seakan-akan sebagai ajaran Nabi. Orang menta`ati syari`at Allah
dikesankan kuno, lugu dan penakut, akan tetapi orang yang melanggar
syari`at Allah sering dikesankan pemberani, hebat, modern dan
seterusnya. Bentuk-bentuk syubhat ini ada dua macam yakni At Tafrith dan Al Ifrath.
At tafriith yakni terlalu
mengenteng-entengkan masalah agama. Mereka menganggap semuanya serba
boleh, asal nggak terlalu, yang penting enak dan senang dan
ungkapan-ungkapan yang senada dengan itu yang seakan-akan mereka ingin
hidup bebas dari segala ikatan-ikatan agama.
Adapun Al ifraath adalah lawan dari tafrith yakni
kecenderungan orang untuk digiring kedalam sikap ekstrim dalam
penafsiran dan pengamalan agama atau yang diistilahkan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam dengan ghuluw. Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam mengingatkan kita terhadap sikap ghuluw ini didalam sabda beliau: ”Jauhkanlah
diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena
sesungguhnya sikap ghuluw ini telah membinasakan orang-orang sebelum
kalian” (HSR. Ahmad (I/215, 347), dan lainnya, dari Sahabat Ibnu
‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu). Umat-ummat sebelum kita seperti bani israil
itu binasa karena sikap ghuluw terhadap agama dan batas-batas yang Allah
tetapkan. Contoh dari sikap ghuluw ini antara lain merampok dikatakan
berjihad, membunuh sesama muslim dikatakan berjihad. Padahal jihad itu
memang disediakan di dalam Islam, namun karena ia juga merupakan salah
satu bentuk ibadah di dalam Islam yang sebagaimana ibadah-ibadah yang
lainnya, maka ia juga harus memenuhi ketentuan-ketentuan baku di dalam
Islam tentang ibadah jihad tersebut, sehingga tidak boleh sembarangan
mengatakan suatu perbuatan itu jihad sebelum syarat-syaratnya terpenuhi.
Begitulah di dalam pemahaman Islam yang ghuluw (ekstrim) yang ifrath ini Islam ditafsirkan dan ditampilkan sebagai agama yang serba perang, serba keras, serba pertumpahan darah, seolah-olah Islam itu harus menumpahkan darah, dan seolah-olah ibadah yang paling tinggi di dalam Islam ialah menumpahkan darah. Akhirnya dengan fitnah ifrath ini, sesuatu yang sesungguhnya sudah mempunyai batasan yang demikian jelas di dalam Islam itu akhirnya dibuang batas itu kemudian diganti dengan sesuatu yang difahami secara ekstrim (diluar batasan Islam) yang kemudian akhirnya pemahaman tersebut seakan-akan menjadi ajaran yang pokok dalam Islam. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam telah mensiyalir gejala ini di dalam sabda beliau dihadapan para sahabat beliau:” Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”. [Muslim II/743-744 No. 1064]. Ternyata apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam ini terjadi di zaman khlifah Ali bin Abi Thalib kurang lebih 24 tahun sepeninggal nabi. Muncul suatu kelompok yang namanya khawarij. Mereka ahli ibadah luar biasa.
Sampai-sampai saking ahli ibadahnya mereka akhirnya merasa bahwa merekalah yang paling benar dan paling dekat dengan Allah. Bahkan mereka menganggap siapapun yang berada diluar komunitas mereka adalah kafir dan harus diperangi. Akhirnya mereka menjadi suatu gerombolan yang begitu ekstrim dan reaksioner dan keras terhadap kelompok-kelompok di luar mereka. Ketika mereka ditangkap oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sebagiannya dibunuh oleh Khalifah, didapati orang-orang yang ditangkap ini memang benar-benar ahli ibadah sebagaimana yang di beritakan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam kurang lebih 24 tahun sebelumnya. Dan pemahaman sesat semacam khawarij ini terus berkembang hingga saat ini termasuk di negeri kita tercinta ini.
Begitulah di dalam pemahaman Islam yang ghuluw (ekstrim) yang ifrath ini Islam ditafsirkan dan ditampilkan sebagai agama yang serba perang, serba keras, serba pertumpahan darah, seolah-olah Islam itu harus menumpahkan darah, dan seolah-olah ibadah yang paling tinggi di dalam Islam ialah menumpahkan darah. Akhirnya dengan fitnah ifrath ini, sesuatu yang sesungguhnya sudah mempunyai batasan yang demikian jelas di dalam Islam itu akhirnya dibuang batas itu kemudian diganti dengan sesuatu yang difahami secara ekstrim (diluar batasan Islam) yang kemudian akhirnya pemahaman tersebut seakan-akan menjadi ajaran yang pokok dalam Islam. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam telah mensiyalir gejala ini di dalam sabda beliau dihadapan para sahabat beliau:” Akan muncul suatu kaum dari umatku yang membaca Al-Qur’an, yang mana bacaan kalian tidaklah sebanding bacaan mereka sedikitpun, tidak pula shalat kalian sebanding dengan shalat mereka sedikitpun, dan tidak pula puasa kalian sebanding dengan puasa mereka sedikitpun”. [Muslim II/743-744 No. 1064]. Ternyata apa yang diberitakan oleh Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam ini terjadi di zaman khlifah Ali bin Abi Thalib kurang lebih 24 tahun sepeninggal nabi. Muncul suatu kelompok yang namanya khawarij. Mereka ahli ibadah luar biasa.
Sampai-sampai saking ahli ibadahnya mereka akhirnya merasa bahwa merekalah yang paling benar dan paling dekat dengan Allah. Bahkan mereka menganggap siapapun yang berada diluar komunitas mereka adalah kafir dan harus diperangi. Akhirnya mereka menjadi suatu gerombolan yang begitu ekstrim dan reaksioner dan keras terhadap kelompok-kelompok di luar mereka. Ketika mereka ditangkap oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib dan sebagiannya dibunuh oleh Khalifah, didapati orang-orang yang ditangkap ini memang benar-benar ahli ibadah sebagaimana yang di beritakan oleh Rasulullah Shalallahu `Alayhi Wasallam kurang lebih 24 tahun sebelumnya. Dan pemahaman sesat semacam khawarij ini terus berkembang hingga saat ini termasuk di negeri kita tercinta ini.
Mengapa terjadi penafsiran ektrim seperti
ini, penyebabnya ialah karena mereka di dalam menafsirkan agama lepas
dari bimbingan Allah dan Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam dalam
menafsirkan Agama. Di dalam menafsirkan Agama, Rasulullah telah
memberikan bimbingannya agar kita selamat dari penafsiran-penafsiran
yang menyimpang, yakni didalam sabda beliau: “Aku wasiatkan kepada
kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat walaupun dipimpin
budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian sepeniggalku
nanti maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang
teguhlah kepada sunnahku dan sunnah pada Khulafaur Rasyidin yang memberi
petunjuk berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dia dengan gigi
geraham kalian. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang baru (yang
diada-adakan) kepada hal-hal yang baru itu adalah kebid’ahan dan setiap
kebid’ahan adalah kesesatan” [H.S.R Abu Dawud]”. Di dalam hadits diatas Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam
menjelaskan bahwa nanti sepeninggal beliau akan terjadi perselisihan
yang banyak. Yakni akan muncul berbagai macam aliran-aliran sesat, akan
muncul berbagai penafsiran-penafsiran agama yang carut marut, maka
disaat itu nabi membimbing kita agar tetap belajar agama ini dengan
hanya merujuk kepada ajaran Nabi Muhammad Shalallahu `alayhi Wasallam
(Islam) dan ajaran para sahabat nabi( pemahaman 4 khalifah terbimbing
yakni Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali terhadap Islam).
Sehingga bila terjadi perselisihan tau perbedaan pendapat di dalam suatu masalah, maka Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menuntun kita bukan membuat pendapat sendiri-sendiri, akan tetapi justru kita harus merujuk dan meneliti kembali ajaran nabi yakni agama Islam ini dan meneliti dan mempelajari pemahaman atau penafsiran 4 khalifah yang terbimbing tersebut terhadap ajaran Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam (Islam) termasuk juga penafsiran para sahabat yang mereka pimpin pada masa itu. Sehingga bila ada sekian banyak pendapat, pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda yang beredar tentang suatu masalah, maka kita dibimbing untuk hanya memilih pendapat dan penafsiran para shahabat nabi tersebut terhadap perkara tersebut agar kita selamat dalam mengikuti pendapat dan pemahaman dan tentunya meninggalkan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pemahaman para shahabat nabi tersebut dari kalangan orang-orang setelah mereka (generasi setelah para shahabat Nabi). Sebab para shahabat Nabi adalah orang-orang yang paling kuat keilmuan Islamnya, karena mereka para shahabat adalah orang-orang yang bertemu secara langsung dengan Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam, mereka belajar tafsir dan pemahaman Al Qur`an dan Assunnah langsung kepada Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam, bahkan sebagian ayat dan hadits itu turun akibat teguran Allah terhadap perbuatan mereka dimasa jahiliyah itu.
Sehingga sangat wajar jika mereka menjadi orang-orang yang paling faham terhadap Islam dan penafsiran Islam dari pada orang-orang (generasi) yang setelah mereka. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menjelaskan status mereka di dalam sabda beliau:” Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”. [Hadits Mutawatir sebagaimana dicantumkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Al-Isabah” 1/12, dan disepakati oleh Suyuthi, Al-Manawi, Al-Kinani] Dua bentuk jebakan ini (AsySyahawaat dan Asyubuhaat) selalu dikampanyekan dan diupayakan oleh musuh-musuh Islam yang didalam hal ini terdiri dari manusia dan jin yang diistilahkan dalam syari`ah Islamiyah dengan Syaithan. Mereka berusaha menjebak manusia agar memandang Islam ini dengan pandangan yang salah.
Islam dikesankan sebagai agama yang tidak mengikat atau sebaliknya sebagai agama yang ekstrim serba keras. Yang harapan akhir mereka tidak ada lain yaitu agar umat Islam bisa keluar dari Islamnya (kufur) tanpa sadar, dan bagi orang-orang yang belum berislam agar anti dan phobi terhadap Islam. Dan inilah yang sering kita saksikan di banyak media masa, dimana Islam sering digambarkan kepada salah satu dari dua versi yang keliru ini. Padahal Islam adalah agama yang wasath (tengah-tengah). Tidak selalu ekstrim dan tidak pula selalu lunak. Ada kalanya Islam itu harus keras namun sering kali Islam itu harus lembut, tentu semua tergantung kondisi dan situasi yang ada. Namun pada dasarnya Islam itu kalau mau dinilai secara objektif adalah agama yang sangat cinta kedamaian dan penebar kasih sayang. Bahkan peperangan yang kadang terjadi sesungguhnya masih dalam rangka misinya untuk menebar cinta dan kasih sayang. Sebab terkadang ada suatu permasalahan itu yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cara kekerasan dan perang. Namun Islam pada dasarnya mengajarkan bahwa segala amalan termasuk perang itu dalam rangka dakwah kepada kebenaran dan kebaikan yang hakiki, bukan sebaliknya dakwah dalam rangka perang sebagaimana pola pikir ekstrim tadi. Berhubung watak dan karakter masing-masing manusia itu berbeda-beda, maka metode untuk mengajak ummat manusia kepada kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki tersebutpun tentunya berbeda-beda pula. Ada tipe orang yang cukup disikapi dengan lembut sudah bisa memahami kebenaran Islam ini, namun ada pula tipe orang yang perlu perlakuan khusus baru bisa memahami kebenaran Islam ini.
Demikianlah sesungguhnya ummat Islam menjalankan misi agamanya untuk menebarkan kasih sayang yang hakiki kepada seluruh umat manusia. Walaupun ungkapan rasa sayang itu terkadang harus diekspresikan dengan cara kekerasasan. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam bersabda: ”Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata’ala.”(Riwayat Al Bukhari dan Muslim)”.
Terkadang Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam memerangi orang-orang yang masih ingkar kepada Allah, namun tujuan akhir dari peperangan itu tidak lain ialah agar orang tersebut akhirnya mau mengucapkan dan meyakini kalimah “laa ilaaha illallah”, suatu kalimat yang dengan mengucapkannya orang tersebut akan dijamin oleh Allah akan masuk ke surgaNya. Tentunya tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan surga dan melihat wajah Allah yang mulia di sana. Inilah ungkapan sayang yang hakiki dari Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam dan kita para pengikutnya. Namun sayangnya efek dari ungkapan tersebut terkadang tidak bisa mereka rasakan di dunia ini, melainkan nanti di hari perhitungan akhirat. Maka beruntunglah bagi mereka yang mau membuka akal sehatnya menyambut ungkapan sayang tersebut dengan surga yang yang akan mereka dapatkan dan celakalah bagi mereka yang menolak ungkapan dan ajakan kasih sayang tersebut dengan siksaan neraka yang membinasakan. Wal iyadzubillah. Wallahu a`lamu bish shawab.
Sehingga bila terjadi perselisihan tau perbedaan pendapat di dalam suatu masalah, maka Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menuntun kita bukan membuat pendapat sendiri-sendiri, akan tetapi justru kita harus merujuk dan meneliti kembali ajaran nabi yakni agama Islam ini dan meneliti dan mempelajari pemahaman atau penafsiran 4 khalifah yang terbimbing tersebut terhadap ajaran Nabi Shalallahu `alayhi Wasallam (Islam) termasuk juga penafsiran para sahabat yang mereka pimpin pada masa itu. Sehingga bila ada sekian banyak pendapat, pemahaman dan penafsiran yang berbeda-beda yang beredar tentang suatu masalah, maka kita dibimbing untuk hanya memilih pendapat dan penafsiran para shahabat nabi tersebut terhadap perkara tersebut agar kita selamat dalam mengikuti pendapat dan pemahaman dan tentunya meninggalkan pendapat-pendapat yang bertentangan dengan pemahaman para shahabat nabi tersebut dari kalangan orang-orang setelah mereka (generasi setelah para shahabat Nabi). Sebab para shahabat Nabi adalah orang-orang yang paling kuat keilmuan Islamnya, karena mereka para shahabat adalah orang-orang yang bertemu secara langsung dengan Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam, mereka belajar tafsir dan pemahaman Al Qur`an dan Assunnah langsung kepada Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam, bahkan sebagian ayat dan hadits itu turun akibat teguran Allah terhadap perbuatan mereka dimasa jahiliyah itu.
Sehingga sangat wajar jika mereka menjadi orang-orang yang paling faham terhadap Islam dan penafsiran Islam dari pada orang-orang (generasi) yang setelah mereka. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam menjelaskan status mereka di dalam sabda beliau:” Sebaik-baik manusia adalah yang hidup pada masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya”. [Hadits Mutawatir sebagaimana dicantumkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “Al-Isabah” 1/12, dan disepakati oleh Suyuthi, Al-Manawi, Al-Kinani] Dua bentuk jebakan ini (AsySyahawaat dan Asyubuhaat) selalu dikampanyekan dan diupayakan oleh musuh-musuh Islam yang didalam hal ini terdiri dari manusia dan jin yang diistilahkan dalam syari`ah Islamiyah dengan Syaithan. Mereka berusaha menjebak manusia agar memandang Islam ini dengan pandangan yang salah.
Islam dikesankan sebagai agama yang tidak mengikat atau sebaliknya sebagai agama yang ekstrim serba keras. Yang harapan akhir mereka tidak ada lain yaitu agar umat Islam bisa keluar dari Islamnya (kufur) tanpa sadar, dan bagi orang-orang yang belum berislam agar anti dan phobi terhadap Islam. Dan inilah yang sering kita saksikan di banyak media masa, dimana Islam sering digambarkan kepada salah satu dari dua versi yang keliru ini. Padahal Islam adalah agama yang wasath (tengah-tengah). Tidak selalu ekstrim dan tidak pula selalu lunak. Ada kalanya Islam itu harus keras namun sering kali Islam itu harus lembut, tentu semua tergantung kondisi dan situasi yang ada. Namun pada dasarnya Islam itu kalau mau dinilai secara objektif adalah agama yang sangat cinta kedamaian dan penebar kasih sayang. Bahkan peperangan yang kadang terjadi sesungguhnya masih dalam rangka misinya untuk menebar cinta dan kasih sayang. Sebab terkadang ada suatu permasalahan itu yang tidak bisa diselesaikan kecuali dengan cara kekerasan dan perang. Namun Islam pada dasarnya mengajarkan bahwa segala amalan termasuk perang itu dalam rangka dakwah kepada kebenaran dan kebaikan yang hakiki, bukan sebaliknya dakwah dalam rangka perang sebagaimana pola pikir ekstrim tadi. Berhubung watak dan karakter masing-masing manusia itu berbeda-beda, maka metode untuk mengajak ummat manusia kepada kedamaian dan kebahagiaan yang hakiki tersebutpun tentunya berbeda-beda pula. Ada tipe orang yang cukup disikapi dengan lembut sudah bisa memahami kebenaran Islam ini, namun ada pula tipe orang yang perlu perlakuan khusus baru bisa memahami kebenaran Islam ini.
Demikianlah sesungguhnya ummat Islam menjalankan misi agamanya untuk menebarkan kasih sayang yang hakiki kepada seluruh umat manusia. Walaupun ungkapan rasa sayang itu terkadang harus diekspresikan dengan cara kekerasasan. Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam bersabda: ”Dari Ibnu Umar radhiallahuanhuma, Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda :”Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka bersaksi bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat, menunaikan zakat. Jika mereka melakukan hal itu maka darah dan harta mereka akan dilindungi kecuali dengan hak Islam dan perhitungan mereka ada pada Allah Subhanahu wata’ala.”(Riwayat Al Bukhari dan Muslim)”.
Terkadang Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam memerangi orang-orang yang masih ingkar kepada Allah, namun tujuan akhir dari peperangan itu tidak lain ialah agar orang tersebut akhirnya mau mengucapkan dan meyakini kalimah “laa ilaaha illallah”, suatu kalimat yang dengan mengucapkannya orang tersebut akan dijamin oleh Allah akan masuk ke surgaNya. Tentunya tidak ada kenikmatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan surga dan melihat wajah Allah yang mulia di sana. Inilah ungkapan sayang yang hakiki dari Rasulullah Shalallahu `alayhi Wasallam dan kita para pengikutnya. Namun sayangnya efek dari ungkapan tersebut terkadang tidak bisa mereka rasakan di dunia ini, melainkan nanti di hari perhitungan akhirat. Maka beruntunglah bagi mereka yang mau membuka akal sehatnya menyambut ungkapan sayang tersebut dengan surga yang yang akan mereka dapatkan dan celakalah bagi mereka yang menolak ungkapan dan ajakan kasih sayang tersebut dengan siksaan neraka yang membinasakan. Wal iyadzubillah. Wallahu a`lamu bish shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar